Posted by : Unknown
Kamis, 23 April 2015
PENGERTIAN HUKUM
PERJANJIAN
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah
suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu
orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum,
karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak,
padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal
balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing.
Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan
dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda
mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian
adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri
untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain
mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas
dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian
yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk
didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian
disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan
hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang
hukum perdata.
1. Standar Kontrak
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari
bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian
yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah
ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat
terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : [8] Suatu
kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak
tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam
bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika
kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data
informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam
klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak
mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau
mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut,
sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. [9] Sedangkan menurut
Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang
menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk,
sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu
adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya
adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian
dalam keadaan yang memeprburuk. [10]
Menurut Treitel, “freedom of contract”
digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum
yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh
diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya
syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut
kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak
meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang
ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum
tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa
kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan
siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. [11] Tanpa sepakat dari
salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak
sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang
diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan
menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah
untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian
yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud.
Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang
terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini. [12]
Namun
kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya
kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Dalam melihat pembatasan kebebasan
berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat
yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah
pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh
karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption
clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua
pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public
interest). [13]
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada
kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu
kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan
masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang
selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan
diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang
sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang
datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku
pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature)
terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya
perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis. [14]
Di
Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur
tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang
paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan
majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan
dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau
peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan
hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan
dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau
perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku,
maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan
oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1. Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW
Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk
mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat
ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui
sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja
panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan
aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan
keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang yang
menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima
penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat
dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak
kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2.
Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of
International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum
yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip
kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa
membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai
berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan
syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak
dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan
yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan
berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi
dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu
pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3. Pasal 2.20 Prinsip
UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam
persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh
suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas
menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti
tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal
2.21 "Dalam hal timbul suatu pertentangan antara
persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut
terakhir dinyatakan berlaku."
5. Pasal 2.22
"Jika kedua belah pihak menggunakan
persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk
beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan
perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar
yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah
menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada
pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak
tersebut.
"
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah
dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada
intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan
untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum
pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan
berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian
kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang
membuatnya.
Macam-macam kontrak atau perjanjian
Tentang jenis-jenis kontrak
KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah
penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak
sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik
merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status
sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal
balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai
debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang
mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain
untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma,
perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan
penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah
:
Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para
kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur,
kecuali pada perjanjian jual beli.
Berkaitan dengan perjanjian syarat batal,
pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian
timbal balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak
dipenuhi seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir
BHP. Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan
perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu
kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak
innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak
jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai,
pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll.
Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah kontrak yang
timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum
tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak
ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint
venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan
menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat
secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang terdapat
dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan, kecuali
yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus dilakukan
dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam
tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh
pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan
sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam
tulisan.
2. Macam – Macam
Perjanjian
Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan Perjanjian Dengan Beban
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan Perjanjian Dengan Beban
Perjanjian dengan
Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu
keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
(Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
Perjanjian dengan beban ialah suatu
perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak
lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana
hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
Perjanjian timbal balik
ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah
pihak.
3). Perjanjian konsensuil, Formal dan Riil
Perjanjian konsensuil ialah
perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut.
Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus
dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
Perjanjian
riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus
diserahkan.
4). Perjanjian Bernama, Tidak Bernama dan Campuran
Perjanjian
bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan
kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUH Perdata
ditambah titel VIIA.
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak
diatur secara khusus.
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung
berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
3. Syarat – Syarat Sah Perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat,
maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut
ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu
adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan.
Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal,
yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian
tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara
hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di
dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada
dibawah pengampunan.
3. Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu
perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu
disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus
memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka
objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak
mengira-ngira.
4. Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat
para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada
bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif,
yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian,
apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta
pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu
mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut
dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian
telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian,
maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
4. Saat Lahirnya
Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai
arti penting bagi :
a) kesempatan penarikan kembali penawaran;
b) penentuan resiko;
c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d) menentukan tempat terjadinya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
a) kesempatan penarikan kembali penawaran;
b) penentuan resiko;
c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d) menentukan tempat terjadinya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang
diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat
adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam
kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya
(toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus
Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang
disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak
yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima
penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak
yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut
sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa
teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir
pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan
kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan
penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori)
Menurut teori
ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap
pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah
pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie)
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak
adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka
atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada
alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya
kontrak.
5. Pelaksanaan dan
Pembatalan Suatu Perjanjian
-
Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP
menjadi bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur
dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa
yang mempunyai tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi
subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan
pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk
melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik
terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak,
tidak ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Asas yang
mengikat dalam pelaksanaan kontrak
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan
pelaksanaan kontrak ialah :
Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
Hal-hal yang menurut
kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal
undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
Bila suatu hal tidak diatur
oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan karena kemungkinan
belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan
penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak
harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu
kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
Fungsi melarang, artinya bahwa suatu
kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat
dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga
yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas
kepatutan.
Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau
dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan
adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa
isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
-
Pembatalan Suatu Perjanjian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan
kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut
dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak
dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan
oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam
kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
- Tidak memenuhi prestasi sama
sekali
- Terlambat memenuhi prestasi
- Memenuhi prestasi secara tidak
sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan
untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang
wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti
rugi kepada pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan
terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :
Pemenuhan perikatan
Pemenuhan
perikatan dengan ganti rugi
Ganti rugi
Pembatalan persetujuan timbale balik,
atau
Pembatalan dengan ganti rugi
Sumber: